Selasa, 18 Oktober 2011

Demokrasi Menyuburkan Pergaulan Bebas



Demokrasi yang diterapkan di Indonesia sebagai sebuah sistem, telah nyata memberikan dampak buruk kepada rakyat. Salah satu buktinya terlihat pada aspekpergaulan. Masyarakat Indonesia hidup secara bebas, dalam arti tidak ada hukum-hukum dan peraturan mengenai pergaulan—khususnya yang  berkenaan denganhubungan pria-wanita.
Hal ini bisa terjadi, karena demokrasi memiliki pandangan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah baik, tidak jahat. Kejahatan yang muncul dari manusia disebabkan oleh adanya pengekangan terhadap kehendaknya. Oleh karena itu, kehendak manusia harus dibiarkan bebas lepas agar dia mampu menunjukkan tabiat baiknya yang asli.  Dari sinilah kemudian muncul ide kebebasan (freedom) yang meliputi kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan berperilaku.
Berdasarkan ide-ide kebebasan tersebut (terutama ide kebebasan berperilaku), maka lahirlah suasana atau kondisi yang memungkinkan terjadinya tindak laku hewani (di antaranya adalah pacaran, seks bebas serta berpakaian semaunya: telanjang maupun berpakaian tidak masalah) atau yang diistilahkan secara familiar dengan pergaulan bebas.
Apabila ide-ide ini dibiarkan terus-menerus, maka hasilnya akan seperti sekarang, di mana gaya pergaulan masyarakat modern kini sudah menjadi suatu pemandangan yang mengerikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa demokrasi berperan sangat besar dalam menyuburkan perilaku pergaulan bebas dan karenanya ia pun harus diganti.

Keharusan Khilafah Sebagai Pengganti Demokrasi
Karena demokrasi telah jelas-jelas berperan dalam menciptakan iklim kondusif bagi pergaulan bebas—padahal pergaulan bebas diharamkan dalam Islam—maka tentulah ia (demokrasi) mutlak harus diganti dengan sistem kenegaraan yang islami, yaitu sistem yang hanya menerapkan hukum Islam dan tidak menolerir adanya kebebasan berperilaku di tengah masayarakatnya. Sistem yang dimaksud tiada lain kecuali Khilafah.
Khilafah dikatakan “tidak menolerir adanya kebebasan berperilaku di tengah masyarakatnya” karena alasan-alasan berikut:
Pertama, karena Khilafah adalah sistem pemerintahan yang mengatur urusan masyarakat berdasarkan apa yang diwahyukan Allah SWT. Di antara wahyu tersebut ada yang menjadi dalil untuk melarang adanya bentuk-bentuk pergaulan bebas. Hal ini tercermin dari, misalnya, dua hadits nabi saw yang berbunyi:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ
“Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita.” (HR. Al-Nasa`i).
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita kecuali jika wanita itu disertai mahramnya.” (HR. Muslim).
Karena berkhalwat itu dilarang, tentu akan ada sanksi bagi orang yang melakukannya. Apabila sanksi di dunia sudah diberikan, maka sang pelaku akan terbebas dari sanksi kelak di akhirat.  Di sisi lain, sanksi yang diberikan di dunia akan juga berfungsi sebagai zawajir (pencegah) manusia lain dari melakukan kesalahan yang serupa.
Jadi, apabila khalwat itu dilakukan di suatu tempat oleh dua orang muslim-muslimah, niscaya perbuatan tersebut tidak akan meluas; dalam arti ditiru oleh masyarakat. Sebab di samping memberikan aturan berupa larangan khalwat, sistem Khilafah juga akan memberikan kemudahan bagi masyarakatnya yang ingin mewujudkan pernikahan.
Oleh karena itu, masyarakat pun akan menjadi masyarakat yang tenang karena pemerintah telah menciptakan iklim kondusif bagi terpenuhinya dorongan gharizah al-nau’ (naluri melestarikan jenis) yang ada pada individu-individu masyarakat secara syar’i, serta karena pemerintah pula telah menutup peluang terjadinya kemaksiatan lewat pemberian hukuman keras kepada para pelakunya. Dengan demikian, masyarakat pun akan menjadi masyarakat yang bersih dan bebas dari pergaulan bebas.
Kedua, dengan sistem ekonomi Islamnya, Khilafah akan mampu memenuhi kebutuhan kaum muslimin sehingga fenomena “tidak menikah karena takut tidak bisa membiayai” seperti yang marak terjadi saat ini akan sirna. Dengan demikian, pernikahan pun tidak akan lagi menjadi suatu momok yang menakutkan bagi sebagian besar pemuda.
Dengan kondisi yang seperti itu, dijamin pergaulan bebas tidak akan terjadi dan kalau pun terjadi, dapat dipastikan tidak akan menyebarluas seperti sekarang karena masyarakat pasti akan takut terhadap konsep hudud yang diterapkan oleh pemerintah.
Ketiga, Khilafah atau negara Islam akan membolehkan poligami dan akan menghilangkan citra buruk yang melekat padanya. Sebab secara naqli, poligami adalah suatu kebolehan (mubah) dan secara aqli sendiri ia adalah solusi jitu bagi permasalahan yang terjadi di dunia saat ini, yakni kenyataan bahwa jumlah wanita lebih banyak dibanding pria.
Menetapkan kebolehan poligami dan mengangat sejumlah citra negatif yang ada padanya merupakan kebijakan solutif atas kenyataan di atas. Sebab apabila ia dilarang, maka akan mengakibatkan permasalahan yang lebih kompleks lagi, yaitu akan munculnya perawan tua dalam jumlah yang amat besar.
Dalam sebuah sensus yang dilakukan di Mesir, ditemukan jumlah perawan tua di sana mencapai 3.703.077 orang.  Sedangkan dalam sebuah penelitian di Arab Saudi, ditemukan fakta bahwa presentase perawan tua di kalangan dokter mencapai 45 persen dan di kalangan mahasiswi Fakultas Tarbiyah di Riyadh mencapai 97 persen. Dan bila dihitung secara keseluruhan, pada tahun 2002 Masehi atau 1422 Hijriyah, jumlah perawan tua di Saudi telah mencapai 1,5 juta orang.
Selain menyebabkan semakin bertambahnya jumlah perawan tua, pelarangan poligami juga akan menyebabkan tersebarnya kejahatan, munculnya rumah-rumah mesum dan masyarakat akan berubah menjadi masyarakat hewani.  Penulis lain menambahkan pula bahwa dengan adanya pelarangan poligami, maka praktek perzinaan akan tersebar luas  dan akan dijumpai banyaknya wanita-wanita simpanan.
Meski poligami menjadi solusi bagi problema yang telah disebutkan di atas dan pelarangannya justru akan menyebabkan berbagai persoalan pelik, tetapi kesemua fakta itu bukanlah ‘illat dari disyariatkannya kebolehan poligami, dan juga bukan merupakan syarat untuk berpoligami.
Bahkan secara mutlak, seorang pria boleh mengawini dua, tiga bahkan empat orang wanita, baik tengah terjadi persoalan-persoalan yang membutuhkan pemecahan berupa poligami atau pun tidak. Sebab Allah SWT telah berfirman:
فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَثَ وَرُبَعَ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (QS. Al-Nisa [4]: 3).
Dalam ayat ini Allah SWT berfirman “Ma thaba” (yang kamu senangi) dan menetapkannya berbentuk umum, tanpa ada batasan atau syarat apapun. Adapun membatasi diri dengan seorang istri saja, syara’ telah menganjurkannya dalam satu kondisi saja, yaitu ketika takut tidak dapat berlaku adil. Di luar kondisi ini, tidak dinyatakan di dalam satu nash pun adanya dorongan dari syara’ untuk menikahai satu istri saja.

Penutup
Demikianlah pembahasan mengenai alasan-alasan praktis betapa demokrasi mutlak harus diganti demi terwujudnya masayarakt yang bersih dari praktik pergaulan bebas. Mengganti demokrasi dengan Khilafah adalah bahasa lain dari strategi keempat yang disinggung dalam artikel berjudul Strategi Mencegah Pergaulan Bebas.
Mari bersama-sama menegakkan sistem Khilafah demi terwujudnya masayarakat yang steril dari pergaulan bebas. Sebab pergaulan bebas adalah kemungkaran dan karena ia wajib dicegah—maka Khilafah yang menjadi satu-satunya sarana untuk mewujudkan itu—tentu menjadi wajib pula untuk diadakan atau diadakan. Dan inilah tanggung jawab kita semua: muslim yang betul-betul mencintai Allah dan Rasul-Nya. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar