Sabtu, 10 Desember 2011

Gaya Pergaulan Pasutri Modern?

Tahun 2004 April aku kembali ke tanah air setelah menyelesaikan kuliah saya di Kota Kyoto, Jepang. Kemudian sekembalinya ke Indonesia, Allah swt memberiku rejeki berupa pekerjaan di sebuah kantor kerjasama internasional milik Pemerintah Jepang.
Kembali hidup di negeri tercinta adalah harapanku saat itu. Terus terang aku merasa sudah terlalu puas dan sedikit 'eneg' (hehehe) dengan pola kehidupan di Jepang yang monoton. Bekerja, pergi kuliah, pulang ke apartemen yang penghuni cuma 'sebiji' yaitu diriku sendiri. Begitu tiap hari. Sesekali pergi bersosialisasi (kadang berusaha menghindari pergaulan karena capek sendiri), atau sekedar window shoping. 
Aku sungguh-sungguh merasa sepi, 'kesendirian' terlalu lama mewarnai kehidupan saya selama tujuh tahun di Jepang. Sejak bangun tidur di pagi hari hingga masuk kembali ke futon (kasur ala Jepang) di malam hari, hanya ada diriku di kamar apartemen itu. Terkadang aku sampai ngomong sendiri loh.
Untuk itu aku merasa perlu kembali ke haribaan ibu pertiwi, hidup kembali di lingkungan masyarakat Indonesia yang terkenal hangat dan dinamis.
Namun, entah mengapa aku seperti seorang 'Shimataro'. Shimataro adalah tokoh pada sebuah cerita rakyat Jepang. Kisahnya tentang seorang laki-laki muda yang membantu seekor penyu yang sedang dijaili oleh beberapa anak laki-laki. Atas bantuan si Shimataro ini, dia diajak oleh penyu berkunjung ke kerajaan laut. Di sana Shimataro dijamu oleh ratu dan para penghuni kerajaan. Setelah tiga tahun lamanya di laut, Shimataro pamit untuk kembali ke daratan. Ketika hendak pulang, sang ratu memberi Shimataro sebuah kotak yang tidak boleh dibuka isinya.
Shimataro diantar kembali ke permukaan laut oleh penyu yang dulu dia selamatkan. Setibanya ke kampung halaman, Shimataro bingung karena penghuni kampung sudah berubah dan tidak dia kenal seorang pun. Begitu pula sebaliknya, tidak ada yang mengenalnya. Karena merasa bingung, sepi, sedih sendiri, Shimataro membuka kotak pemberian sang ratu. Padahal dia sudah dilarang untuk tidak membukanya. Ketika dibuka, seketika itu pula Shimataro berubah menjadi kakek-kakek. Ternyata, tiga tahun lamanya di dalam laut sama dengan pertambahan usianya dari seorang laki-laki muda menjadi kakek-kakek.
Aku merasa seperti Shimataro. Tapi bedanya bukan karena tidak mengenal anggota keluargaku, atau aku tidak dikenal anggota keluargaku sendiri. Melainkan shock melihat pergaulan teman-teman sebayaku yang sudah menikah. Banyak sekali gaya pergaulan modern pasutri yang bagiku nggak lazim. Misalnya, berskin ship seperti tepuk-tepuk tangan (touch), bercanda dorong-dorong, duduk-duduk mepet-mepet dengan bukan pasangannya, berfoto bukan dengan pasangannya tapi mengganggap itu hal wajar karena pasangan berfoto saat itu adalah sahabat karibnya, dst. Belum lagi pergi makan bareng-bareng tanpa suami/istrinya.
Gaya seperti ini mungkin aneh kalau aku perdebatkan. Karena kenyataannya banyak sekali yang seperti itu. Apa aku yang kuper ya? Atau memang itu wajar? Kalau begitu adanya maka gaya pergaulan di Indonesia tidak ada bedanya dengan di Jepang.
Padahal negeri kita terkenal dengan adat ketimurannya. Plus, secara mayoritas dihuni oleh penduduk beragama Islam. Berjilbab pun ternyata tidak menghalangi para muslimah modern itu pergi karaoke bareng, bukan dengan pasangannya tapi dengan rekan lain jenis sekantornya.
Aku teringat dengan air mata suamiku. Setelah menikah dan kembali hidup di Jepang (2005-sekarang), membuat mataku lebih melek bahwa pasutri itu harus benar-benar menjaga prilaku mereka dalam masyarakat. 
Suamiku pernah menangis sedih karena aku pernah memberi ijin seorang laki-laki muda ke apartemen kami, ketika suamiku sedang tidak di rumah. Ketika itu laki-laki yang adalah teman suamiku juga temanku, sedang hendak berkunjung ke rumah teman Indonesia lain. Nah rumah si orang yang akan dikunjungi itu letaknya ada di depan apartemen kami. Namun ternyata orang yang dikunjungi masih sedang ada di tempat lain. Padahal mereka keliatannya sudah berjanji untuk bertemu.
Laki-laki muda yang sedang berkunjung itu membunyikan bel rumahku. Dan menceritakan kondisinya. Saat itu aku yang hamil delapan bulan sedang membuat kue pesanan. Awalnya tidak terfikir olehku untuk menyuruhnya masuk, karena tidak ada urusan denganku. Tapi dia bercerita sedang kesulitan dalam bahasa Jepang, dan ada tugas khusus yang harus dikerjakannya. Entah mengapa aku menawarkan jasa untuk membantunya. Akhirnya aku tawarkan masuk ke dalam rumah. Kebetulan dia juga bercerita bahwa tetangga kami yang akan dikunjunginya itu  baru lima menit lagi sampai di rumahnya. Ya sudahlah, hitung-hitung membantu orang yang kesulitan, begitu pikirku.
Ternyata tindakanku ini tidaklah baik dan salah dimata suamiku. Padahal aku tidak merasa ada yang salah dengan tindakannya. Karena laki-laki tadi teman kami, lagipula sedang kesulitan. Tapi bukan itu esensinya.
Menurut suamiku, wanita yang sudah menikah tidak boleh mengijinkan laki-laki lain masuk ke rumahnya. Walaupun laki-laki dalam kondisi seperti si teman kami tadi. Toh, si teman bisa saja pergi ke tempat lain sambil menunggu orang yang berjanji dengannya. Mengenai bahasa Jepang, itu kan secara kebetulan saja dia bercerita dan membuatku kasihan untuk membantunya. Padahal itu kan bukan hal yang luar biasa harus dibantu atau bukan dalam kondisi kritis. Lagipula jika ada setan lewat maka akan jadi gosip murahan. Wah, istrinya Pak Diky (aku maksudnya) keliatan berdua di rumahnya dengan pria lain.
Aku bertindak seperti itu karena aku rasanya sering banget melihat ibuku or ibu-ibu tetangga mengijinkan tamu laki-laki yang datang tanpa perjanjian sebelumnya, padahal ayahku/kepala rtnya sedang tidak di rumah saat itu. Misalnya, Pak RT yang tiba-tiba datang padahal ayahku sedang pergi membeli bensin mobil. Atau, ada sales promotion boy yang maksa presentasi di dalam rumah padahal ayahku sedang pergi beli sesuatu. Dan contoh sejenis. Kadang, jika ada atasan (pria tentunya) ibuku datang berkunjung mau tidak mau diijinkan masuk, meskipun terkadang ayah sedang tidak ada di rumah. Hmm...apalagi ya? Misalnya ada tetangga yang lagi iseng jalan-jalan sore tiba-tiba udah nongkrong di teras rumahku,  padahal ayahku sedang (lagi-lagi) tidak ada di rumah.
Di lain waktu, ada seorang WNI muda yang baru datang ke Sapporo untuk kuliah. Keetulan dia satu suku denganku yakni Minangkabau. Suatu kali dia berjanji dengan suamiku untuk main ke rumah. Entah bagaimana ceritanya, tetapi dia datang lebih awal dari suamiku. Tentu saja aku tolak untuk menerimanya masuk. Suamiku mengajarinya untuk mengenal adab masuk rumah pasutri dari sudut pandang Islam. Tapi dia malah bingung dan berkata, " kayaknya di Indonesia secara umum nggak saklek gini deh."
Lalu bagaimana dengan wanita tanpa suami? Bagaimana adab yang baik jika menerima tamu laki-laki di rumahnya.
Nah, contoh seperti itu membuatku benar-benar berfikir ulang serius tentang adab pergaulan pasutri di tanah air.
Menurut teman-teman bagaimana batas pergaulan pasutri yang sebenar-benarnya. Apakah teman-teman pula pengalaman yang sama denganku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar