Sabtu, 10 Desember 2011

Problematika Pergaulan Indonesia

Problematika Pergaulan Indonesia: Sebab dan Solusinya Menurut Islam
Siapapun dari kita pasti setuju dengan pernyataan bahwa pacaran sudah menjadi semacam budaya di Indonesia. Dikatakan ‘semacam budaya’, sebab aktivitas tersebut sudah tidak lagi dipandang buruk oleh mayoritas masyarakat dan mereka sudah tidak lagi risih dalam melakukannya. Padahal, lewat pacaran ini, para pelakunya sudah terjerumus ke dalam zina dan kemaksiatan-kemaksiatan derivatif dari zina itu sendiri, seperti aborsi janin, membuang bayi yang baru lahir, dan bahkan membunuh ibu dari sang janin lantaran takut dimintai pertanggungjawaban menikah. Dan celakanya, kesemua ini semakin menjadi hal yang biasa kita saksikan di media-media, baik cetak maupun elektronik, bahkan di sebagian tempat, peristiwa ini sudah menjadi hal yang lumrah terjadi.
Semua bentuk kerusakan moral tersebut pada hakikatnya disebabkan oleh adanya paham kebebasan yang beredar di tengah-tengah masyarakat yang disuburkan oleh sistem demokrasi yang diterapkan dalam suatu negara di mana masyarakat tersebut tinggal.[1] Dengan adanya kedua ini, sebagian kaum muslimin pada akhirnya terjerembab dalam pergaulan bebas dan ikut dalam arusnya yang kuat, termasuk muslimah. Tita Masithah dkk mengakui hal ini dengan mengatakan, “Banyak wanita muslimah yang terseret dengan pergaulan bebas, gonta-ganti pasangan bahkan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.”[2]
Oleh karena kedua hal tersebut yang menjadi akar problematika rusaknya pergaulan di Indonesia saat ini, maka tak pelak, solusi untuk masalah tersebut haruslah berupa pemikiran (fikrah) dan sistem (nizhâm) guna melawan kedua akar masalah tersebut. Dalam hal ini, fikrah yang dimaksud tentu saja fikrah Islam guna melawan fikrahkebebasan dan sistem yang dimaksud adalah sistem Islam guna melawan sistem demokrasi.
Paham Kebebasan dalam Timbangan Islam
Kebebasan sebagai suatu paham bermakna memberi kesempatan kepada individu untuk beraktivitas memuaskan kehendak-kehendak, dan menjalankan perilaku tanpa ada batasan atau syarat, dan tanpa ada tekanan atau paksaan.[3]
Paham ini muncul dari pemahaman ideologi Kapitalisme terhadap tabiat manusia, bahwa manusia pada hakikatnya adalah baik, tidak jahat. Kejahatan muncul dari diri manusia karena adanya pengekangan terhadap kehendaknya. Karena itu, kaum kapitalis menyerukan upaya pembebasan kehendak manusia agar dia mampu menunjukkan tabiat baiknya yang asli. Dari sinilah kemudian muncul ide kebebasan yang kemudian menjadi salah satu ide yang paling menonjol dalam ideologi Kapitalisme.[4]
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa paham kebebasan adalah bertentangan menurut pandangan Islam. Dalil ringkasnya, bahwa manusia memiliki sejumlah naluri (gharâ`iz) dan kebutuhan jasmani (hâjât ‘udhawiyyah) yang menuntut adanya pemuasan. Dengan akal yang dikaruniakan Allah, manusia mempunyai kehendak dalam rangka memilih jalan yang akan ditempuhnya untuk memuaskan naluri dan kebutuhan jasmaninya itu. Oleh karena itu, apabila manusia memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya dengan secara benar, berarti dia telah melakukan kebaikan. Sebaliknya, apabila dia memenuhinya dengan jalan yang keliru atau menyimpang, berarti dia telah melakukan keburukan.[5]
Yang dimaksud ‘jalan yang benar’ adalah ketakwaan dan ‘jalan yang keliru atau menyimpang’ adalah kemaksiatan. Dan manusia, pada setiap waktu selalu berkemungkinan untuk berada di salah satu dari dua jalan ini. Allah SWT berfirman:
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya (manusia) dua jalan.” (QS. Al-Balad [90]: 10).
Meski begitu, Islam senantiasa mendorong manusia untuk memilih jalan ketakwaan dan menghindari jalan kemaksiatan. Bahkan hal ini diwajibkan sebagaimana termanifestasi dalam kewajiban salat lima waktu, di mana setiap muslim yang melakukannya, minimal telah berdoa sebanyak tujuh belas kali sehari agar ditunjuki jalan yang lurus (ketakwaan) dan dihindari dari jalan yang bertentangan dengannya (jalan Yahudi dan Nasrani). 
Demokrasi dalam Timbangan Islam
Demokrasi merupakan istilah dari Barat yang digunakan untuk menunjukkan konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.[6] Rakyat dianggap sebagai penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan. Rakyat berhak mengatur sendiri urusannya serta melaksanakan dan menjalankan sendiri kehendaknya. Rakyat berhak membuat sendiri peraturan dan undang-undang—karena mereka adalah pemilik kedaulatan—melalui para wakil mereka yang dipilih oleh mereka sendiri. Selanjutnya, peraturan dan undang-undang tersebut akan diterapkan oleh para penguasa yang keberadaannya juga ditentukan oleh rakyat itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan konsep dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sesungguhnya, sangat menarik untuk mengupas demokrasi secara panjang lebar dan satu persatu konsepsi yang dikandungnya dihukumi dengan menggunakan sudut pandang Islam. Namun, untuk melakukan hal itu butuh wadah tersendiri, yakni bisa dalam sebuah buku khusus atau laporan penelitian individu sekualitas tesis atau bahkan disertasi. Maka dari itu, yang ingin disoroti dalam kesempatan ini hanyalah asas dari demokrasi; apakah berkesesuaian dengan Islam ataukah bertentangan?
Konsep dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat biasa disebut dengan istilah kedaulatan rakyat. Menurut Abdul Majid al-Khalidi dalam Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, paham kedaulatan rakyat inilah yang menjadi asas bagi tegaknya sistem demokrasi.[7] Dan, dalam Islam, paham ini dipandang haram karena menurut Islam yang sesungguhnya memegang kedaulatan adalah syara’, bukan rakyat. Dalilnya sangat banyak yang terdiri dari Alquran, sunnah, dan ijma’ sahabat. Di antaranya dari Alquran:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki dan wanita yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]: 36).
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnah).” (Qs. Al-Nisa [4]: 59).
Dari sunnah saw:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan Kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim).
Dari ijma’ sahabat:
Terkait hal ini, Syaikh Abdul Majid al-Khalidi berkata, “Telah menjadi ijma’ sahabat bahwa kedaulatan adalah milik syara’. Tidak seorang pun dari a-Khulafa` a-Rasyidin yang keluar dari nash Alquran dan sunnah Rasul-Nya. Demikian itu terjadi dalam seluruh persoalan hidup. Karena mereka memahami bahwa berhukum kepada syara’ merupakan salah satu konsekuensi iman. Sehingga tidak ada iman jika tidak berhukum kepada syara’.[8]
Atas dasar itu semua, umat Islam haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Kaum muslimin haram pula menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya. Bahkan, kaum muslimin wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thâghût. Demokrasi adalah sistem kufur yang mengandung berbagai ide, peraturan, dan undang-undang kufur. Demokrasi tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali.[9]
Solusi Kembali Kepada Islam
Setelah menetapkan dua penyebab terjadinya kebobrokan moral di Indonesia, maka solusi yang harus kita wujudkan tiada lain adalah menggantikan keduanya dengan paham Islam dan sistem Islam (Khilafah) yang akan menerapkan sistem pergaulan Islam secara komprehensif dan akan menghancurkan peluang-peluang bagi terwujudnya pergaulan bebas di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, bergeraklah wahai kaum muslimin—termasuk kalian para mahasiswa Islam—untuk bahu membahu mewujudkan solusi dengan cara berdakwah sesuai ajaran Rasulullah saw dan ikhlas melakukannya karena Allah Ta’ala, hingga berlanjutnya kembali kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah atau kita mati syahid dalam perjuangan.
Dengan beredarnya paham Islam yang menentang paham kebebasan dan adanya sistem Islam (Khilafah) yang menerapkan sistem pergaulan Islam, niscaya tidak akan ada lagi suasana dan iklim yang memudahkan terjadinya kemaksiatan (pergaulan bebas, pacaran, zina, dsb.) seperti yang kita alami saat ini, di sini.(*)
(Oleh Adnan Syafi’i, BKLDK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar